selayang pandang
diri mengaduk hasrat
bungkam sekian lama
tak juga ada jawab
camar riuh memekik-mekik
pasir berwarna kelabu
jala sudah digulung
perahu ikut mematung
ketika kembali
dua tahun meninggalkan pesisir
rindu aroma asin , sentuh angin barat
menggaruki pipi
aku tak menyangka bakal menemukanmu
lagi
panas udara masih sama
punggung hitam bertarung terik matahari
tulang kulit sedikit gumpal otot
guratan waktu pada kulit
kaki dengan telapak
pecah-pecah
yang berubah hanya
deretan gubuk sunyi
semakin doyong ke kiri
tanpa pekik perempuan
bersenda atau memanggil anak-anak
pulang
kalaupun ada hanya yang renta
menggaruk uban sambil merajut jala
2 tahun meninggalkan pesisir
kampung tanpa perempuan itu nyaris mati
mimpi gelimang rupiah meluncur manis
dari bibir tekong
tanah seberang
bukan cuma makan nasi 3x sehari
baju2, bedak, gincu
bahkan membangun tembok bata pengganti anyam bambu
dinding rumah
biar angin malam tak sedikitpun
mengusik nyenyak tidur
bocah-bocah tertinggal
beranjak besar
tumbuh jadi sosok getir
berwatak liar
kehilangan ibu
sejak masih menyusu
alam satu-satunya guru
mendidik tak kepalang tanggung
selayang pandang,
aku duduk di tepian
pantai masih sepi
memainkan nada rindu, mimpi
dan sakit hati...
Menjelang mudik, sepanjang pantura
27 Agustus 2011
Jumat, 26 Agustus 2011
~LeBaRaN di KaMpUnG~
Gema takbir
masjid pinggir jalan
berkumpul jamaah
kilau baju baru
wangi2an
senyum, salam, salim
bertaburan
gincu memoles
sanak kerabat, teman sepermainan
tetangga
alpa dan dosa2
lebur dalam
gurau tawa
bau opor
ketupat
sambal terasi
masih menyisa
dingin tungku
asap dapur
baru mengepul
meja tertata
jajanan aneka rupa
taplak baru
tembok bau cat
basah
tangan siap2 menggenggam
pecahan seribu
uang kertas
hingar bingar
fitrah yang saru
30 hari
nyaris tak sisa
ramadhan berwujud pesta
euforia saat kekangan
nafsu
dilepas
perempuan-perempuan
melepas kerudung
gaun panjang
menaruh sejadah, mukena
Al-Qur'an
rapat2 di lemari
di kampung
kerja setahun
lenyap dalam
sehari dua
biarlah,
emak bapak
bungah hati
anak sudah mapan
dari kota
ajang cemburu
bisik-bisik tetangga
besok saatnya kembali
berdesakan di bis
antar kota
siap bertarung
hidup
rupiah demi rupiah
tiap malam
leleran keringat
bilik kamar
lampu remang
mendesah
menjerit parau
suara nafsu
tawar menawar
harga diri
kemana pergi
puasa seharian,
lantun ayat-ayat
dakwah taraweh tentang
rupa-rupa dosa?
mungkin menguap waktu
emisi asap bis
menyesaki udara
terminal
lambai emak
mengantar harap
Rupiah mengalir
melapisi gelut
siang malam
kemaksiatan
Lebaran telah usai
di kampung...
Taqobalallahu Minna Wa Minkum, Taqobalallahu Yaa Kariim...
Surabaya, Agustus 2011
(Mengenang Srintul dan perempuan-perempuan serupa)
masjid pinggir jalan
berkumpul jamaah
kilau baju baru
wangi2an
senyum, salam, salim
bertaburan
gincu memoles
sanak kerabat, teman sepermainan
tetangga
alpa dan dosa2
lebur dalam
gurau tawa
bau opor
ketupat
sambal terasi
masih menyisa
dingin tungku
asap dapur
baru mengepul
meja tertata
jajanan aneka rupa
taplak baru
tembok bau cat
basah
tangan siap2 menggenggam
pecahan seribu
uang kertas
hingar bingar
fitrah yang saru
30 hari
nyaris tak sisa
ramadhan berwujud pesta
euforia saat kekangan
nafsu
dilepas
perempuan-perempuan
melepas kerudung
gaun panjang
menaruh sejadah, mukena
Al-Qur'an
rapat2 di lemari
di kampung
kerja setahun
lenyap dalam
sehari dua
biarlah,
emak bapak
bungah hati
anak sudah mapan
dari kota
ajang cemburu
bisik-bisik tetangga
besok saatnya kembali
berdesakan di bis
antar kota
siap bertarung
hidup
rupiah demi rupiah
tiap malam
leleran keringat
bilik kamar
lampu remang
mendesah
menjerit parau
suara nafsu
tawar menawar
harga diri
kemana pergi
puasa seharian,
lantun ayat-ayat
dakwah taraweh tentang
rupa-rupa dosa?
mungkin menguap waktu
emisi asap bis
menyesaki udara
terminal
lambai emak
mengantar harap
Rupiah mengalir
melapisi gelut
siang malam
kemaksiatan
Lebaran telah usai
di kampung...
Taqobalallahu Minna Wa Minkum, Taqobalallahu Yaa Kariim...
Surabaya, Agustus 2011
(Mengenang Srintul dan perempuan-perempuan serupa)
SeTeLaH HaRi InI
biar rasa
berkembang purna
jendela terbuka lebar
menanti fajar
air, angin, api
leburnya jiwa dalam
semesta
aku mencarimu
dari pagi
hingga malam buta
aku sungguh-sungguh
lelah...
Sabtu malam, 13 Agustus 2011
berkembang purna
jendela terbuka lebar
menanti fajar
air, angin, api
leburnya jiwa dalam
semesta
aku mencarimu
dari pagi
hingga malam buta
aku sungguh-sungguh
lelah...
Sabtu malam, 13 Agustus 2011
BaGaImAnA RaSaNyA
Seperti apa rasanya,
menyentuh kenikmatan lewat ombak di laut,
yang bergelora, menjinakkan makna
tak terdekap
Seperti apa rasanya,
mengendalikan mau lewat batu di pegunungan,
patuh dan tenang,
untuk lenyap bersama gema
Aku hanya tau bagaimana
merasakan kehadiranmu,
dalam diam
sebagai sejuk embun -
mengalir lembut di dasar sumsum
Aku hanya tau bagaimana
mencintaimu, dengan berhenti tepat di titik subuhmu,
tumpuan segala sujudku
Sebab kau, kekasihku
berkuasa atas semua rasa sakit,
dari luar atau dalam
jasad atau jiwa
maka aku ingin bersahabat denganmu,
meninggalkan kenyerian
jauh di belakangku.
Engkau menjadi pijar
titik api
ketika aku terjerambab
meraba-raba
dalam gelap
dan menarik lenganku keluar
dari segala
ketakutan
Hadirmu adalah nyawa
setiap tarikan
nafas hidupku
Bila benar hidup serupa
roda pedati,
aku ikhlas,
selama engkau adalah jalanan yang kulewati
( Puisi Keroyokan, Edisi Roman: David Surya & Caesarina)
16 Agustus 2011
Didedikasikan buat seorang teman yang sedang merayakan perkawinan
dalam gamang...
· · Bagikan · Hapus
menyentuh kenikmatan lewat ombak di laut,
yang bergelora, menjinakkan makna
tak terdekap
Seperti apa rasanya,
mengendalikan mau lewat batu di pegunungan,
patuh dan tenang,
untuk lenyap bersama gema
Aku hanya tau bagaimana
merasakan kehadiranmu,
dalam diam
sebagai sejuk embun -
mengalir lembut di dasar sumsum
Aku hanya tau bagaimana
mencintaimu, dengan berhenti tepat di titik subuhmu,
tumpuan segala sujudku
Sebab kau, kekasihku
berkuasa atas semua rasa sakit,
dari luar atau dalam
jasad atau jiwa
maka aku ingin bersahabat denganmu,
meninggalkan kenyerian
jauh di belakangku.
Engkau menjadi pijar
titik api
ketika aku terjerambab
meraba-raba
dalam gelap
dan menarik lenganku keluar
dari segala
ketakutan
Hadirmu adalah nyawa
setiap tarikan
nafas hidupku
Bila benar hidup serupa
roda pedati,
aku ikhlas,
selama engkau adalah jalanan yang kulewati
( Puisi Keroyokan, Edisi Roman: David Surya & Caesarina)
16 Agustus 2011
Didedikasikan buat seorang teman yang sedang merayakan perkawinan
dalam gamang...
· · Bagikan · Hapus
- David L Nino Zieps... muantaps... kalo aku sendiri pasti ga serame ini, karna keroyokan itu lha yg bisa jd INDAH16 Agustus jam 15:02 ·
- Suara Alam Desa Sangat menyukai Puisi anda.. heheheheee.. ga bisa koment kawan,16 Agustus jam 15:05 ·
- Caesarina Pujirohyati @SAD: hehe..sy cm penggembira kok..tanya kawan David tuh..16 Agustus jam 15:24 ·
SePoToNg RiNdU
Senja samar
terang menggelincir di barat
benakku berputar
mengingat bayangmu berpendar
nun jauh
waktu kian sempit
dadaku nyaris terbelah
perih melolong sengit
rinduku membuncah
merobek langit
kutitip puisi rindu
pada nyanyi angin sendu
agar hati tak kian pilu
berharap kaupun rindu
datarnya hari, melaju cepat
aku menghitung bintang
sawah yang mulai kering
anak-anak berlarian
ke surau
suara muadzin mendayu
membungkus pilu dengan kemelut
aku bersimpuh di haribaan
senja
ketika rindu menyerbu
semakin menggila
bayangmu meronta
menari-nari dalam benak
simpuhku menjadi hentak
wahai, separuh jiwa
yang sedang kembara
tak inginkah sejenak
pulang
membasuh lara?
Banten, 20 Agustus 2011
(Puisi Keroyokan Suara Alam Desa & Caesarina)
terang menggelincir di barat
benakku berputar
mengingat bayangmu berpendar
nun jauh
waktu kian sempit
dadaku nyaris terbelah
perih melolong sengit
rinduku membuncah
merobek langit
kutitip puisi rindu
pada nyanyi angin sendu
agar hati tak kian pilu
berharap kaupun rindu
datarnya hari, melaju cepat
aku menghitung bintang
sawah yang mulai kering
anak-anak berlarian
ke surau
suara muadzin mendayu
membungkus pilu dengan kemelut
aku bersimpuh di haribaan
senja
ketika rindu menyerbu
semakin menggila
bayangmu meronta
menari-nari dalam benak
simpuhku menjadi hentak
wahai, separuh jiwa
yang sedang kembara
tak inginkah sejenak
pulang
membasuh lara?
Banten, 20 Agustus 2011
(Puisi Keroyokan Suara Alam Desa & Caesarina)
SeDiKiT BuAt ReNuNgAn
Sedikit buat renungan..
http://kotakhitamdunia.blogspot.com/2011/08/negara-terkaya-di-dunia-yang-luput-dari.html?m=1
http://kotakhitamdunia.blogspot.com/2011/08/negara-terkaya-di-dunia-yang-luput-dari.html?m=1
DaLaM HiDuP
dalam hidup
dua peristiwa
bergulungan langit senja
mau hujan
bias matahari
sebagian saja
tampak
dalam hidup
datarnya horizon
tak seperti yang
terkuak
nun jauh di batas
langit-bumi
mahluk yang merayapi tanah
atau terbang di udara
kaupun sudah kehabisan
cerita
cerita
melukis sketsa hampa
pada kanvasku
terbentang sepanjang jalan
berujung sebuah
keranda
taburkan bunga di atasnya
isak dan sesak merapal
bersama doa-doa
tak jelas
untukmu
untuk bumi
atau keranda yang masih tercium
bau kayu
dalam hidup
kau aku
tak bisa lagi lari
kemana-mana
Surabaya 21 Agustus 2011
dua peristiwa
bergulungan langit senja
mau hujan
bias matahari
sebagian saja
tampak
dalam hidup
datarnya horizon
tak seperti yang
terkuak
nun jauh di batas
langit-bumi
mahluk yang merayapi tanah
atau terbang di udara
kaupun sudah kehabisan
cerita
cerita
melukis sketsa hampa
pada kanvasku
terbentang sepanjang jalan
berujung sebuah
keranda
taburkan bunga di atasnya
isak dan sesak merapal
bersama doa-doa
tak jelas
untukmu
untuk bumi
atau keranda yang masih tercium
bau kayu
dalam hidup
kau aku
tak bisa lagi lari
kemana-mana
Surabaya 21 Agustus 2011
BuLaN SuCi
tidak pernah ada lembaran baru
membuka esok berarti cuma
membalik sepenggal cerita
terserak namun berakar kuat
dari sebelumnya
kisah-kisah baik dituturkan hanya saat
para pembawa datang
dari langit, penyampai berita baik
digenggamnya dalam satu tangan
tangan lainnya menebar benih
kebencian
bulan-bulan suci, seharusnya tempat
tengadah, memohon berkah
lalu sujud bersimpuh
meratakan dahi pada tanah
melunaklah segala gejolak
tunduk tak lagi menghentak
merasakan damai dari surau
suara muadzin, tadarus
atau al-fatihah dilantunkan
seperti itu,
sepanjang bulan
hatikah yang sudah sekeras batu?
atau telinga jadi bebal?
bulan ini, bulan suci
air mataku mengalir sepanjang perih
mengupasi hari
luka-luka
dendam dan kemuakan pada hidup
yang sesungguhnya...
tidak pernah ada lembaran baru..
22 Agustus 2011
· · Bagikan · Hapus
membuka esok berarti cuma
membalik sepenggal cerita
terserak namun berakar kuat
dari sebelumnya
kisah-kisah baik dituturkan hanya saat
para pembawa datang
dari langit, penyampai berita baik
digenggamnya dalam satu tangan
tangan lainnya menebar benih
kebencian
bulan-bulan suci, seharusnya tempat
tengadah, memohon berkah
lalu sujud bersimpuh
meratakan dahi pada tanah
melunaklah segala gejolak
tunduk tak lagi menghentak
merasakan damai dari surau
suara muadzin, tadarus
atau al-fatihah dilantunkan
seperti itu,
sepanjang bulan
hatikah yang sudah sekeras batu?
atau telinga jadi bebal?
bulan ini, bulan suci
air mataku mengalir sepanjang perih
mengupasi hari
luka-luka
dendam dan kemuakan pada hidup
yang sesungguhnya...
tidak pernah ada lembaran baru..
22 Agustus 2011
· · Bagikan · Hapus
SerEnAde HaTi
Alunan seruni, ataukah hanya desir angin lalu, yang menemani kita melantunkan ayat-ayat rembulan, memecah keheningan malam.
Kita, adalah embun dan kelopak kembang, Nada-nada yang merambat, menanjaki udara, mengawan dan menggema di dinding langit yang digariskan dalam takdir pertemuan, oleh Sang Fajar.
Engkaulah bulan, menerangiku di gelap malam. Engkaulah mentari mengusir gigil di pagi sepi
Aku hanyut dalam selesa mega, mengarak pulang harap demi harap, hadirmu nyata. Aku memetik dawai-dawai kesunyian, berdenting nyaring memecah kepekatan malam. Pelitaku nun jauh di genggaman. Tidak inginkah kau kembali menggambari batas langit bersama-sama?
Kau, aku serbuk hidup yang menyatu di udara, terhirup oleh rongga dada, sesak karena keterbatasan. Ada dinding pualam sekeliling jalan yang kita lukis, diatas tanah basah, hutan hujan peraduan. Rinai gerimis tak juga mampu menghapus debu penghalau mataku, akan utuh sosokmu. Bulan tinggal separuh, ketika tepian nadir kita terbentur waktu, senja, dan keengganan matahari.
Maka, ringankanlah langkahmu untuk pulang, dalam istana mengapung yang kubangun diatas khayal semesta, beratap lara sekaligus suka cita. Warna-warni pelangi anak tangga berkelok naik memenuhi ruang jiwa, saat langkahmu bergesekan dengan lembut beledru, pijar cahaya lilin lilin merah, hangat perapian. Di sudut ruang, kubuka pintu lebar-lebar, duduk tegak gelisah seperti halnya kelopak bunga ditetesi embun pagi, diam penuh harap, tenang namun berkecamuk amarah. Aku menantimu seperti setianya fajar mengantar matahari ke singgasana langit...
Puisi Keroyokan David L Nino & Caesarina, 24 Agustus 2011
Kita, adalah embun dan kelopak kembang, Nada-nada yang merambat, menanjaki udara, mengawan dan menggema di dinding langit yang digariskan dalam takdir pertemuan, oleh Sang Fajar.
Engkaulah bulan, menerangiku di gelap malam. Engkaulah mentari mengusir gigil di pagi sepi
Aku hanyut dalam selesa mega, mengarak pulang harap demi harap, hadirmu nyata. Aku memetik dawai-dawai kesunyian, berdenting nyaring memecah kepekatan malam. Pelitaku nun jauh di genggaman. Tidak inginkah kau kembali menggambari batas langit bersama-sama?
Kau, aku serbuk hidup yang menyatu di udara, terhirup oleh rongga dada, sesak karena keterbatasan. Ada dinding pualam sekeliling jalan yang kita lukis, diatas tanah basah, hutan hujan peraduan. Rinai gerimis tak juga mampu menghapus debu penghalau mataku, akan utuh sosokmu. Bulan tinggal separuh, ketika tepian nadir kita terbentur waktu, senja, dan keengganan matahari.
Maka, ringankanlah langkahmu untuk pulang, dalam istana mengapung yang kubangun diatas khayal semesta, beratap lara sekaligus suka cita. Warna-warni pelangi anak tangga berkelok naik memenuhi ruang jiwa, saat langkahmu bergesekan dengan lembut beledru, pijar cahaya lilin lilin merah, hangat perapian. Di sudut ruang, kubuka pintu lebar-lebar, duduk tegak gelisah seperti halnya kelopak bunga ditetesi embun pagi, diam penuh harap, tenang namun berkecamuk amarah. Aku menantimu seperti setianya fajar mengantar matahari ke singgasana langit...
Puisi Keroyokan David L Nino & Caesarina, 24 Agustus 2011
Rabu, 24 Agustus 2011
NyAlAkAn LiLiN
nyalakan lilin untuk kawanku
menderas doa-doa
bergerak dari barat ke utara
nasib terkepung kebutuhan
dan jumawa tuan-tuan
melenggang di atas kepala
kawanku tertunduk dalam
tengadah sudah saatnya
tangan terkulai angkat mengepal
jerit sering tercekat di tenggorokan
upah minim, jam kerja panjang, diskriminasi
pelecehan harga seorang manusia
diatas laba
kawanku peras keringat, berdarah-darah
tulang tak sempat lurus, perut melilit ganas
cuti dan hak-hak manusiawi
kesenangan setahun sekali
diremas gemas jari halus tuan
berahir di keranjang sampah
tuan pikir kawanku sudi mengemis?
setelah dilucuti penghidupan dan harga diri?
tuan lupa, laba yang mengalir ke pundi-pundi
bercampur kubangan keringat
dan remuknya tulang belikat
tengadah sudah saatnya
kawanku mengepal merapatkan barisan
dari barat mengalir ke utara
bersatulah semesta!
nyalakan lilin untuk kawanku
menderaskan doa-doa
merapatlah yang senasib dalam
bara...
Bismillah...
( Solidaritas untuk kawan SPCI )
Surabaya, Rabu Malam, 24 Agustus 2011
menderas doa-doa
bergerak dari barat ke utara
nasib terkepung kebutuhan
dan jumawa tuan-tuan
melenggang di atas kepala
kawanku tertunduk dalam
tengadah sudah saatnya
tangan terkulai angkat mengepal
jerit sering tercekat di tenggorokan
upah minim, jam kerja panjang, diskriminasi
pelecehan harga seorang manusia
diatas laba
kawanku peras keringat, berdarah-darah
tulang tak sempat lurus, perut melilit ganas
cuti dan hak-hak manusiawi
kesenangan setahun sekali
diremas gemas jari halus tuan
berahir di keranjang sampah
tuan pikir kawanku sudi mengemis?
setelah dilucuti penghidupan dan harga diri?
tuan lupa, laba yang mengalir ke pundi-pundi
bercampur kubangan keringat
dan remuknya tulang belikat
tengadah sudah saatnya
kawanku mengepal merapatkan barisan
dari barat mengalir ke utara
bersatulah semesta!
nyalakan lilin untuk kawanku
menderaskan doa-doa
merapatlah yang senasib dalam
bara...
Bismillah...
( Solidaritas untuk kawan SPCI )
Surabaya, Rabu Malam, 24 Agustus 2011
Selasa, 23 Agustus 2011
In MeMoRiAm
mataku terpejam
kenangan berlarian dalam benak
hitam putih lembaran menguak
cerita panjang 15 thn silam
dari sebuah cinta
mengalir bara
api yang membakar hati,
rasa keadilan dianiaya
dibungkam drama, sengketa, perebutan tahta
lalu menjelma jadi tragedi
berlumur dusta-dusta
kawan yang datang
berlapis lapis topeng
di wajahnya
di depan ia membawa madu
di belakang ditikamnya sembilu
janji membela sampai mati
ikatan batin yang dikira bisa melekat
lewat kebersamaan setiap saat
bisa berubah sekejap, seperti membalik telapak
dan saat terdesak
terpojok di sudut terkepung angkara
mengelilingi tempat kami biasa bersenda
segerombol massa, entah dari antah berantah mana
mengaku sejati kami adalah milik mereka
: kawan-kawanku, yang kuikuti hidup mati
berada di luar kami!
salahkan materi, salahkan perut yang minta diisi
salahkan mata yang silau oleh gemerlap
kuasa dahsyat
atau mereka memang sengaja hendak
terlibat?
27 Juli, 15 thn yll
kami yang terikat, kami yang sekarat, kami yang terkurung dalam kebencian dan penghianatan
kami yang pulang dalam peti, kami yang tak ada rimba lagi
belajar banyak tentang tragedi
kesetiaan, harga diri
teman-teman sejati
terikat lurus pada tali tipis usang yang sewaktu-waktu putus
oleh pisau berkarat bernama
kepentingan...
( Semoga damai selalu menyertai....)
kenangan berlarian dalam benak
hitam putih lembaran menguak
cerita panjang 15 thn silam
dari sebuah cinta
mengalir bara
api yang membakar hati,
rasa keadilan dianiaya
dibungkam drama, sengketa, perebutan tahta
lalu menjelma jadi tragedi
berlumur dusta-dusta
kawan yang datang
berlapis lapis topeng
di wajahnya
di depan ia membawa madu
di belakang ditikamnya sembilu
janji membela sampai mati
ikatan batin yang dikira bisa melekat
lewat kebersamaan setiap saat
bisa berubah sekejap, seperti membalik telapak
dan saat terdesak
terpojok di sudut terkepung angkara
mengelilingi tempat kami biasa bersenda
segerombol massa, entah dari antah berantah mana
mengaku sejati kami adalah milik mereka
: kawan-kawanku, yang kuikuti hidup mati
berada di luar kami!
salahkan materi, salahkan perut yang minta diisi
salahkan mata yang silau oleh gemerlap
kuasa dahsyat
atau mereka memang sengaja hendak
terlibat?
27 Juli, 15 thn yll
kami yang terikat, kami yang sekarat, kami yang terkurung dalam kebencian dan penghianatan
kami yang pulang dalam peti, kami yang tak ada rimba lagi
belajar banyak tentang tragedi
kesetiaan, harga diri
teman-teman sejati
terikat lurus pada tali tipis usang yang sewaktu-waktu putus
oleh pisau berkarat bernama
kepentingan...
( Semoga damai selalu menyertai....)
D~A~M~P~A~K
Padang ilalang kering kerontang
lumbung2 padi hanya jerami
katanya wereng, kemarau, hama
nyata juga tak ada benih
terbeli
Tanah ini sudah turun turunan
dari kakek buyut sampai tole
dibesarkan desau angin pematang
dulu riuh berlarian dibelai bulir kuning emas
Satu-satu dirampas, dibakar, dikubur hidup-hidup
dikangkangi, dinodai, dibodohi, diludahi, dinjak-injak
digagahi habis-habisan
ternganga-nganga melihat
keserakahan bermunculan
dibangun di atasnya
Atas nama negara
Atas nama hajat hidup orang banyak
Atas dusta-dusta yang bergelimang karat
arit, pacul, ani-ani
saat caping-caping terpaksa digantung
pemilik yang terusir dari tanah sendiri..
Seperti laron mendekati neon
gemerlap bawa ramai-ramai mendekat
Kota besar menebar mimpi-mimpi palsu
muda-mudi, titisan bulir padi, hanyut pada kanalnya
sebagian terlunta-lunta tak berumah
yang kuat menang dan beringas.
sebagian lagi masuk tembok
memeras keringat
Atas nama negara
Atas nama hajat hidup orang banyak
Atas dusta-dusta yang menguar bau busuk dari seluruh
penjuru kota..
( Puisi Keroyokan : Inu & Caesa..)
lumbung2 padi hanya jerami
katanya wereng, kemarau, hama
nyata juga tak ada benih
terbeli
Tanah ini sudah turun turunan
dari kakek buyut sampai tole
dibesarkan desau angin pematang
dulu riuh berlarian dibelai bulir kuning emas
Satu-satu dirampas, dibakar, dikubur hidup-hidup
dikangkangi, dinodai, dibodohi, diludahi, dinjak-injak
digagahi habis-habisan
ternganga-nganga melihat
keserakahan bermunculan
dibangun di atasnya
Atas nama negara
Atas nama hajat hidup orang banyak
Atas dusta-dusta yang bergelimang karat
arit, pacul, ani-ani
saat caping-caping terpaksa digantung
pemilik yang terusir dari tanah sendiri..
Seperti laron mendekati neon
gemerlap bawa ramai-ramai mendekat
Kota besar menebar mimpi-mimpi palsu
muda-mudi, titisan bulir padi, hanyut pada kanalnya
sebagian terlunta-lunta tak berumah
yang kuat menang dan beringas.
sebagian lagi masuk tembok
memeras keringat
Atas nama negara
Atas nama hajat hidup orang banyak
Atas dusta-dusta yang menguar bau busuk dari seluruh
penjuru kota..
( Puisi Keroyokan : Inu & Caesa..)
KePaDa SrInTuL
Namamu ternyata cuma bias dlm bebal telinga.
Jerit laramu pd jiwa-jiwa hampa, yg masyuk di duniawinya sendiri, dipandang cm gelegar dramatisir peminta derma.
Srintul, aq kehabisan nafas mengejarmu.
Makna hari2 dlm rintihanmu, beku dlm udara kami yg kini tak lgi punya kehangatan cinta.
Bilur2, luka2, sumpah serapah
diri dlm raungan anjing-anjing geladak yang berebutan mengejar bangkai,
dlm kedua mata yg telah buta
Mata dan mata hatinya
Indra mereka tinggal naluri,
menguasai atau mati.
Mereka jg lapar, Srintul,
dan memakan apa saja yg ditemuinya.
Srintul, aq tak berani lgi mengajakmu pulang.
Kau nyaris serupa bangkai bernyawa,
yg telah habis
digagahi birahi kota..
Maafkan aq...
Jerit laramu pd jiwa-jiwa hampa, yg masyuk di duniawinya sendiri, dipandang cm gelegar dramatisir peminta derma.
Srintul, aq kehabisan nafas mengejarmu.
Makna hari2 dlm rintihanmu, beku dlm udara kami yg kini tak lgi punya kehangatan cinta.
Bilur2, luka2, sumpah serapah
diri dlm raungan anjing-anjing geladak yang berebutan mengejar bangkai,
dlm kedua mata yg telah buta
Mata dan mata hatinya
Indra mereka tinggal naluri,
menguasai atau mati.
Mereka jg lapar, Srintul,
dan memakan apa saja yg ditemuinya.
Srintul, aq tak berani lgi mengajakmu pulang.
Kau nyaris serupa bangkai bernyawa,
yg telah habis
digagahi birahi kota..
Maafkan aq...
SeNjA dI LaUt
Deru ombak memanggil-manggil
kaki-kaki telanjang berlarian
buat jejak di pasir
terik mulai reda, meluncur ke barat, langit bau asin
angin dari pantai menyapu
lautan
selembar besar jala telah dirajut
menjaring harap bila malam lepas
Wahai, sudah sebulan tidak melaut
sisa rupiah terahir dirampas tengkulak
solar langka harga melambung
perahu tandas di tepian
Ah, mana ada ikan masuk perangkap
semua terbirit gaduh mesin butut
Ah, mana bisa berlomba sampai ke tengah
kapal tetangga melaju seperti kilat
laut moyang dijarah mentah-mentah
Polisi Penjaga main mata, rupiah berpindah tangan
Nelayan menggulung jala, menelan ludah, terapung-apung
menyusur laut dengan hampa
miskin tehnologi, miskin rejeki
harga tangkapan terbanting di bumi
Lihat istri-istri merantau ke Saudi
pulang buncit memar, sebagian masuk dalam peti
sebagian lagi remuk dalam jual beli
harga diri
Pasir hitam, pesisir terkikis
ombak menyapu segala harapan
gubuk beratap rumbia
senyap, suram
semburat amis keputus asa-an
Moyangku seorang pelaut
tinggal cerita dari mulut ke mulut..
( Puisi Keroyokan : Inunesia & Caesa )
kaki-kaki telanjang berlarian
buat jejak di pasir
terik mulai reda, meluncur ke barat, langit bau asin
angin dari pantai menyapu
lautan
selembar besar jala telah dirajut
menjaring harap bila malam lepas
Wahai, sudah sebulan tidak melaut
sisa rupiah terahir dirampas tengkulak
solar langka harga melambung
perahu tandas di tepian
Ah, mana ada ikan masuk perangkap
semua terbirit gaduh mesin butut
Ah, mana bisa berlomba sampai ke tengah
kapal tetangga melaju seperti kilat
laut moyang dijarah mentah-mentah
Polisi Penjaga main mata, rupiah berpindah tangan
Nelayan menggulung jala, menelan ludah, terapung-apung
menyusur laut dengan hampa
miskin tehnologi, miskin rejeki
harga tangkapan terbanting di bumi
Lihat istri-istri merantau ke Saudi
pulang buncit memar, sebagian masuk dalam peti
sebagian lagi remuk dalam jual beli
harga diri
Pasir hitam, pesisir terkikis
ombak menyapu segala harapan
gubuk beratap rumbia
senyap, suram
semburat amis keputus asa-an
Moyangku seorang pelaut
tinggal cerita dari mulut ke mulut..
( Puisi Keroyokan : Inunesia & Caesa )
SuAtU SaAt
Setiap saat
kawanku datang dari luapan amarah
jiwanya menggelegak terengah
mengejar nasib
tengadah
tangan terkepal, bibir mengatup rapat
bulir keringat ngalir deras
Setiap saat
kawanku merangkum serapah dalam lara
remuk sudah jasad, terjual jua berbagai jiwa
untuk sehari dua periuk nasi
penuh berisikan
mimpi-mimpi basi
pagi ke malam, malam ke pagi
seperti bumi tak ada rotasi
Tentu saja,
Harga sebuah jiwa berarti
kematian jiwa
Lalu yang berbaris rapi di depan
gemuruh mesin pabrik-pabrik
berseragam, melangkah serempak
kaki berayun dalam belenggu
sakit, kosong, tak berdaya
adalah manusia-manusia
yang nyaris mati dicabuti
kemanusiaannya...
Setiap saat pula,
Para majikan asyik mengangkang dengan laba
mendengkur pulas kenyang
berselimut nirwana
Persetan buruh dilibat hutang
Persetan buruh tak makan
Persetan dengan keselamatan atau jaminan
Tindas..
Tindas..
Tindaslah mereka!
Lalu suatu saat
kawanku menyusun lapar, peluh, tangis
pekik jeritnya
di sela-sela harga diri
yang tersisa
Bergabunglah...
Dari sini semuanya bermula..
(Puisi keroyokan: Inunesia & Caesarina..)
kawanku datang dari luapan amarah
jiwanya menggelegak terengah
mengejar nasib
tengadah
tangan terkepal, bibir mengatup rapat
bulir keringat ngalir deras
Setiap saat
kawanku merangkum serapah dalam lara
remuk sudah jasad, terjual jua berbagai jiwa
untuk sehari dua periuk nasi
penuh berisikan
mimpi-mimpi basi
pagi ke malam, malam ke pagi
seperti bumi tak ada rotasi
Tentu saja,
Harga sebuah jiwa berarti
kematian jiwa
Lalu yang berbaris rapi di depan
gemuruh mesin pabrik-pabrik
berseragam, melangkah serempak
kaki berayun dalam belenggu
sakit, kosong, tak berdaya
adalah manusia-manusia
yang nyaris mati dicabuti
kemanusiaannya...
Setiap saat pula,
Para majikan asyik mengangkang dengan laba
mendengkur pulas kenyang
berselimut nirwana
Persetan buruh dilibat hutang
Persetan buruh tak makan
Persetan dengan keselamatan atau jaminan
Tindas..
Tindas..
Tindaslah mereka!
Lalu suatu saat
kawanku menyusun lapar, peluh, tangis
pekik jeritnya
di sela-sela harga diri
yang tersisa
Bergabunglah...
Dari sini semuanya bermula..
(Puisi keroyokan: Inunesia & Caesarina..)
Langganan:
Postingan (Atom)