matahari mulai naik
sisi rel kereta,
sisa-sisa roda memercik api
dan debu tebal
perempuan bersarung kain
baju tanpa lengan
mendorong tingkap
gubuk kayu
suaranya melengking memanggil
bocah dekil lari2an di sisi rel
terkekeh-kekeh melihat sisa percik api
lelaki-lelaki, telanjang kaki
memanggul karung, menggenggam kait
memilah-milah kaleng, kertas2, botol plastik
sarapan secangkir kopi dan puntung rokok
bercampur caci maki
debu menggumpal diudara
baksil tbc
sarang nyamuk aedes
berpesta di tumpukan
kardus bekas
diseberang rel, tidak sampai 15 menit
berjalan kaki
umbul2 berderet berlomba dengan spanduk-spanduk
heroik
slogan merdeka 66 tahun negeri
bebas dari penjajah,
penindasan atas jiwa
perbudakan raga sekaligus nurani
lomba2 digelar, gegap gempita
merah putih berkibar di angkasa raya
televisi sepanjang hari memutar
upacara dan pidato para petinggi
kemakmuran dan wacana2
ribuan rakyat silang sengketa
tinggal seremonial rutin
setiap tahun
kereta melintas lagi, di rel
suara gemuruh merobek telinga
debu membumbung ke udara
batuk, diare, ludah dan darah
kelaparan, kedinginan, kemiskinan
turun temurun
menjerit-jerit terlindas roda
berputar garang
bocah-bocah semakin girang berlarian
terkekeh mengejar bayang-bayang kereta
dari belakang
gema euforia seremoni kemerdekaan
dari tahun ke tahun
tidak pernah sampai
kesana..
Dirgahayu Negeriku, 17 Agustus 1945
sisi rel kereta,
sisa-sisa roda memercik api
dan debu tebal
perempuan bersarung kain
baju tanpa lengan
mendorong tingkap
gubuk kayu
suaranya melengking memanggil
bocah dekil lari2an di sisi rel
terkekeh-kekeh melihat sisa percik api
lelaki-lelaki, telanjang kaki
memanggul karung, menggenggam kait
memilah-milah kaleng, kertas2, botol plastik
sarapan secangkir kopi dan puntung rokok
bercampur caci maki
debu menggumpal diudara
baksil tbc
sarang nyamuk aedes
berpesta di tumpukan
kardus bekas
diseberang rel, tidak sampai 15 menit
berjalan kaki
umbul2 berderet berlomba dengan spanduk-spanduk
heroik
slogan merdeka 66 tahun negeri
bebas dari penjajah,
penindasan atas jiwa
perbudakan raga sekaligus nurani
lomba2 digelar, gegap gempita
merah putih berkibar di angkasa raya
televisi sepanjang hari memutar
upacara dan pidato para petinggi
kemakmuran dan wacana2
ribuan rakyat silang sengketa
tinggal seremonial rutin
setiap tahun
kereta melintas lagi, di rel
suara gemuruh merobek telinga
debu membumbung ke udara
batuk, diare, ludah dan darah
kelaparan, kedinginan, kemiskinan
turun temurun
menjerit-jerit terlindas roda
berputar garang
bocah-bocah semakin girang berlarian
terkekeh mengejar bayang-bayang kereta
dari belakang
gema euforia seremoni kemerdekaan
dari tahun ke tahun
tidak pernah sampai
kesana..
Dirgahayu Negeriku, 17 Agustus 1945
Tidak ada komentar:
Posting Komentar