selayang pandang
diri mengaduk hasrat
bungkam sekian lama
tak juga ada jawab
camar riuh memekik-mekik
pasir berwarna kelabu
jala sudah digulung
perahu ikut mematung
ketika kembali
dua tahun meninggalkan pesisir
rindu aroma asin , sentuh angin barat
menggaruki pipi
aku tak menyangka bakal menemukanmu
lagi
panas udara masih sama
punggung hitam bertarung terik matahari
tulang kulit sedikit gumpal otot
guratan waktu pada kulit
kaki dengan telapak
pecah-pecah
yang berubah hanya
deretan gubuk sunyi
semakin doyong ke kiri
tanpa pekik perempuan
bersenda atau memanggil anak-anak
pulang
kalaupun ada hanya yang renta
menggaruk uban sambil merajut jala
2 tahun meninggalkan pesisir
kampung tanpa perempuan itu nyaris mati
mimpi gelimang rupiah meluncur manis
dari bibir tekong
tanah seberang
bukan cuma makan nasi 3x sehari
baju2, bedak, gincu
bahkan membangun tembok bata pengganti anyam bambu
dinding rumah
biar angin malam tak sedikitpun
mengusik nyenyak tidur
bocah-bocah tertinggal
beranjak besar
tumbuh jadi sosok getir
berwatak liar
kehilangan ibu
sejak masih menyusu
alam satu-satunya guru
mendidik tak kepalang tanggung
selayang pandang,
aku duduk di tepian
pantai masih sepi
memainkan nada rindu, mimpi
dan sakit hati...
Menjelang mudik, sepanjang pantura
27 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar