Alunan seruni, ataukah hanya desir angin lalu, yang menemani kita melantunkan ayat-ayat rembulan, memecah keheningan malam.
Kita, adalah embun dan kelopak kembang, Nada-nada yang merambat, menanjaki udara, mengawan dan menggema di dinding langit yang digariskan dalam takdir pertemuan, oleh Sang Fajar.
Engkaulah bulan, menerangiku di gelap malam. Engkaulah mentari mengusir gigil di pagi sepi
Aku hanyut dalam selesa mega, mengarak pulang harap demi harap, hadirmu nyata. Aku memetik dawai-dawai kesunyian, berdenting nyaring memecah kepekatan malam. Pelitaku nun jauh di genggaman. Tidak inginkah kau kembali menggambari batas langit bersama-sama?
Kau, aku serbuk hidup yang menyatu di udara, terhirup oleh rongga dada, sesak karena keterbatasan. Ada dinding pualam sekeliling jalan yang kita lukis, diatas tanah basah, hutan hujan peraduan. Rinai gerimis tak juga mampu menghapus debu penghalau mataku, akan utuh sosokmu. Bulan tinggal separuh, ketika tepian nadir kita terbentur waktu, senja, dan keengganan matahari.
Maka, ringankanlah langkahmu untuk pulang, dalam istana mengapung yang kubangun diatas khayal semesta, beratap lara sekaligus suka cita. Warna-warni pelangi anak tangga berkelok naik memenuhi ruang jiwa, saat langkahmu bergesekan dengan lembut beledru, pijar cahaya lilin lilin merah, hangat perapian. Di sudut ruang, kubuka pintu lebar-lebar, duduk tegak gelisah seperti halnya kelopak bunga ditetesi embun pagi, diam penuh harap, tenang namun berkecamuk amarah. Aku menantimu seperti setianya fajar mengantar matahari ke singgasana langit...
Puisi Keroyokan David L Nino & Caesarina, 24 Agustus 2011
Kita, adalah embun dan kelopak kembang, Nada-nada yang merambat, menanjaki udara, mengawan dan menggema di dinding langit yang digariskan dalam takdir pertemuan, oleh Sang Fajar.
Engkaulah bulan, menerangiku di gelap malam. Engkaulah mentari mengusir gigil di pagi sepi
Aku hanyut dalam selesa mega, mengarak pulang harap demi harap, hadirmu nyata. Aku memetik dawai-dawai kesunyian, berdenting nyaring memecah kepekatan malam. Pelitaku nun jauh di genggaman. Tidak inginkah kau kembali menggambari batas langit bersama-sama?
Kau, aku serbuk hidup yang menyatu di udara, terhirup oleh rongga dada, sesak karena keterbatasan. Ada dinding pualam sekeliling jalan yang kita lukis, diatas tanah basah, hutan hujan peraduan. Rinai gerimis tak juga mampu menghapus debu penghalau mataku, akan utuh sosokmu. Bulan tinggal separuh, ketika tepian nadir kita terbentur waktu, senja, dan keengganan matahari.
Maka, ringankanlah langkahmu untuk pulang, dalam istana mengapung yang kubangun diatas khayal semesta, beratap lara sekaligus suka cita. Warna-warni pelangi anak tangga berkelok naik memenuhi ruang jiwa, saat langkahmu bergesekan dengan lembut beledru, pijar cahaya lilin lilin merah, hangat perapian. Di sudut ruang, kubuka pintu lebar-lebar, duduk tegak gelisah seperti halnya kelopak bunga ditetesi embun pagi, diam penuh harap, tenang namun berkecamuk amarah. Aku menantimu seperti setianya fajar mengantar matahari ke singgasana langit...
Puisi Keroyokan David L Nino & Caesarina, 24 Agustus 2011
"Alunan seruni, ataukah hanya desir angin lalu, yang menemani kita melantunkan ayat-ayat rembulan, memecah keheningan malam.
BalasHapusKita, adalah embun dan kelopak kembang, Nada-nada yang merambat, menanjaki udara, mengawan dan menggema di dinding langit yang digariskan dalam takdir pertemuan, oleh Sang Fajar.
Engkaulah bulan, menerangiku di gelap malam. Engkaulah mentari mengusir gigil di pagi sepi"
Puisi di blog ini yang saya kutip itu adalah puisi saya di Twitter. Tolong, hargailah karya orang lain, jangan di-copy-paste tanpa mencantumkan nama sang penulis. Mohon jangan diulangi. Terima kasih jika anda mengerti.
"Alunan seruni, ataukah hanya desir angin lalu, yang menemani kita melantunkan ayat-ayat rembulan, memecah keheningan malam.
BalasHapusKita, adalah embun dan kelopak kembang, Nada-nada yang merambat, menanjaki udara, mengawan dan menggema di dinding langit yang digariskan dalam takdir pertemuan, oleh Sang Fajar.
Engkaulah bulan, menerangiku di gelap malam. Engkaulah mentari mengusir gigil di pagi sepi"
Puisi di blog ini yang saya kutip itu adalah puisi saya di Twitter (Delune). Tolong, hargailah karya orang lain, jangan di-copy-paste tanpa mencantumkan nama sang penulis. Mohon jangan diulangi. Terima kasih jika anda mengerti.